Pemerintah Chad Diterjang Serangan, 20 Tewas dalam Serangan Istana Kepresidenan

Pemerintah Chad Diterjang Serangan, 20 Tewas dalam Serangan Istana Kepresidenan

Krisis keamanan kembali mengguncang Chad setelah serangan bersenjata terjadi di sekitar Istana Kepresidenan pada Jumat dini hari, menewaskan sedikitnya 20 orang, termasuk beberapa anggota militer dan staf administratif. Insiden ini menandai eskalasi serius dalam ketegangan politik yang telah membayangi negara Afrika Tengah tersebut sejak awal tahun.

Menurut pernyataan resmi pemerintah Chad, serangan dimulai sekitar pukul 03.00 waktu setempat ketika sekelompok pria bersenjata berat mencoba menerobos gerbang utama kompleks kepresidenan di ibu kota, N’Djamena. Baku tembak sengit terjadi selama lebih dari satu jam sebelum pasukan elite penjaga presiden berhasil mengendalikan situasi.

Presiden Mahamat Idriss Déby, yang dilaporkan berada di dalam kompleks saat serangan terjadi, berhasil dievakuasi ke lokasi aman dan dalam kondisi selamat. Kantor kepresidenan mengutuk serangan tersebut sebagai “upaya kudeta yang pengecut” dan berjanji akan menindak tegas semua pihak yang terlibat.

Pelaku Diduga Kelompok Pemberontak

Pihak berwenang Chad belum secara resmi mengidentifikasi kelompok di balik serangan ini, namun dugaan kuat mengarah pada Front for Change and Concord in Chad (FACT), kelompok pemberontak bersenjata yang sebelumnya terlibat dalam pertempuran besar pada 2021 yang menewaskan Presiden Idriss Déby, ayah dari Mahamat Idriss Déby.

Kementerian Dalam Negeri Chad menyatakan bahwa beberapa penyerang telah ditangkap hidup-hidup dan saat ini tengah menjalani interogasi. Pemerintah menegaskan bahwa situasi telah “sepenuhnya dikendalikan,” namun warga di N’Djamena tetap diimbau untuk tetap waspada dan membatasi aktivitas di luar rumah.

Reaksi Nasional dan Internasional

Serangan ini langsung memicu kekhawatiran dari komunitas internasional. Uni Afrika, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan Prancis—yang memiliki pasukan militer di Chad—mengecam aksi kekerasan tersebut dan menyerukan stabilitas serta proses transisi politik yang damai.

Prancis, sekutu lama Chad, mengeluarkan pernyataan dukungan terhadap pemerintahan Mahamat Déby dan menegaskan kembali komitmennya terhadap “keamanan dan kedaulatan Chad sebagai mitra penting dalam memerangi terorisme di wilayah Sahel.”

Di dalam negeri, warga Chad terbagi antara rasa cemas dan marah. Sebagian menyuarakan dukungan terhadap pemerintah, sementara lainnya menilai insiden ini sebagai bukti kegagalan pemerintah dalam mengelola transisi pasca-kematian Déby senior. Sejak Mahamat Déby mengambil alih kekuasaan secara interim pada 2021, Chad berada dalam periode transisi yang penuh gejolak, termasuk protes pro-demokrasi yang beberapa kali berujung bentrokan dengan aparat.

Ancaman Ketidakstabilan Berkepanjangan

Analis politik memperingatkan bahwa serangan terhadap Istana Kepresidenan ini bisa memicu spiral kekerasan baru dan memperdalam ketidakstabilan di Chad, negara yang telah lama dilanda konflik internal, kudeta, dan intervensi militer asing. Situasi ini juga dikhawatirkan dapat memperburuk keamanan regional, mengingat Chad memainkan peran kunci dalam operasi militer regional melawan kelompok ekstremis di Sahel.

Penutup

Serangan mematikan di jantung kekuasaan Chad menjadi peringatan keras atas rapuhnya situasi politik dan keamanan di negara tersebut. Dengan puluhan nyawa melayang dan ketegangan yang belum reda, masa depan transisi Chad kini kembali berada di persimpangan yang genting. Masyarakat internasional pun menanti langkah pemerintah untuk mengembalikan stabilitas tanpa mengorbankan demokrasi dan hak asasi.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *