Perang Gaza Sementara Berakhir dengan Kesepakatan Gencatan Senjata pada Januari 2025 berkepanjangan antara Israel dan Hamas di Jalur Gaza akhirnya mencapai titik jeda setelah kedua pihak menyetujui kesepakatan gencatan senjata sementara yang mulai berlaku pada 15 Januari 2025. Kesepakatan tersebut dimediasi oleh Mesir, Qatar, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan disambut dunia internasional sebagai momen krusial untuk meredakan salah satu konflik paling berdarah di Timur Tengah dalam dua dekade terakhir.
Perjanjian gencatan senjata ini mengakhiri lebih dari tiga bulan pertempuran intensif yang dimulai sejak Oktober 2024, ketika eskalasi militer antara Hamas dan militer Israel memicu krisis kemanusiaan besar-besaran di Gaza. Menurut laporan dari badan kemanusiaan PBB, lebih dari 15.000 orang tewas—mayoritas warga sipil—dan ratusan ribu lainnya mengungsi akibat serangan udara, pemboman artileri, dan operasi darat.
Isi Kesepakatan
Kesepakatan gencatan senjata yang ditandatangani di Kairo mencakup beberapa poin utama: penghentian semua aksi militer, pembukaan akses kemanusiaan ke Gaza, pertukaran tahanan, serta komitmen untuk memulai negosiasi jangka panjang mengenai status dan keamanan wilayah.
Pihak Israel setuju untuk menarik sebagian pasukan dari wilayah utara Gaza, sementara Hamas berkomitmen menghentikan serangan roket ke wilayah selatan Israel. Sebagai bagian dari kesepakatan, sekitar 80 tahanan Palestina akan dibebaskan, dan sebagai gantinya, Hamas akan menyerahkan sejumlah sandera warga sipil dan tentara yang ditahan sejak awal konflik.
Reaksi Dunia
Sekretaris Jenderal PBB António Guterres menyambut baik kesepakatan tersebut, menyebutnya sebagai “langkah awal yang penting menuju solusi diplomatik yang langgeng.” Ia juga menyerukan agar semua pihak menghormati perjanjian dan menahan diri dari provokasi lebih lanjut.
Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi, yang berperan kunci dalam negosiasi, menekankan pentingnya “mengubah gencatan senjata menjadi awal dari proses politik yang menyeluruh dan adil.” Sementara itu, Amerika Serikat dan Uni Eropa menyerukan pemulihan penuh bantuan kemanusiaan dan mendesak pembentukan mekanisme pemantauan untuk memastikan perjanjian dihormati.
Tantangan di Depan
Meski gencatan senjata memberi harapan baru, banyak pihak skeptis terhadap daya tahannya. Sejarah panjang konflik Israel-Palestina dipenuhi oleh gencatan senjata yang rapuh dan sering kali gagal bertahan lama. Ketidakpercayaan mendalam antara kedua pihak, ditambah tekanan dari faksi-faksi bersenjata lain di Gaza, dapat dengan mudah menggagalkan stabilitas yang baru dicapai.
Di sisi lain, situasi kemanusiaan yang memburuk di Gaza menjadi ujian besar bagi komunitas internasional. Lembaga bantuan memperingatkan bahwa akses terhadap air bersih, makanan, dan perawatan medis masih sangat terbatas. PBB meminta dana darurat sebesar $1,2 miliar untuk pemulihan awal, termasuk pembangunan kembali infrastruktur vital seperti rumah sakit dan sekolah.
Penutup
Kesepakatan gencatan senjata pada Januari 2025 memberikan jeda yang sangat dibutuhkan dalam konflik Gaza yang telah menewaskan ribuan orang dan mengguncang kawasan. Namun, keberhasilannya bergantung pada komitmen jangka panjang dari kedua belah pihak dan keterlibatan aktif komunitas internasional dalam membangun perdamaian yang adil dan berkelanjutan. Tanpa upaya diplomatik yang serius, jeda ini bisa berubah menjadi sekadar episode singkat dalam siklus kekerasan yang berulang.